“Brakk!”
Suara dan teriakan teriakan itu terdengar lagi, dan aku hanya bisa diam menangis di dalam kamarku. Bahkan saat ini aku sudah jarang menangis lagi ketika itu terjadi, aku sudah bosan, lelah, sampai rasanya inginku memberontak dan mengeluarkan seluruh amarahku untuk memaki-maki mereka yang selalu saja mempermasalahkan sesuatu.
Kakak laki-laki ku, dia lebih memilih untuk tinggal di kostan nya daripada dirumah. Sepertinya dia sudah tidak tahan lagi dengan keadaan rumah, kalau tidak ada aku disini mungkin dia tidak akan lagi mengunjungi rumah ini. Aku kadang marah padanya, kenapa dia seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi, aku ingin juga pergi dari rumah ini, tapi tidak seperti dia, hidupku masih bergantung pada mereka, miris memang. Dirumah ini aku seperti hanya menumpang tidur dan makan saja, jarang ada komunikasi yang terjadi di keluargaku
Suara dan teriakan teriakan itu terdengar lagi, dan aku hanya bisa diam menangis di dalam kamarku. Bahkan saat ini aku sudah jarang menangis lagi ketika itu terjadi, aku sudah bosan, lelah, sampai rasanya inginku memberontak dan mengeluarkan seluruh amarahku untuk memaki-maki mereka yang selalu saja mempermasalahkan sesuatu.
Kakak laki-laki ku, dia lebih memilih untuk tinggal di kostan nya daripada dirumah. Sepertinya dia sudah tidak tahan lagi dengan keadaan rumah, kalau tidak ada aku disini mungkin dia tidak akan lagi mengunjungi rumah ini. Aku kadang marah padanya, kenapa dia seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi, aku ingin juga pergi dari rumah ini, tapi tidak seperti dia, hidupku masih bergantung pada mereka, miris memang. Dirumah ini aku seperti hanya menumpang tidur dan makan saja, jarang ada komunikasi yang terjadi di keluargaku
Ayahku seorang yang sangat mementingkan egonya , semua harus mengikuti aturannya. Dia tidak pernah peka, bertingkah seakan dia benar-benar peduli dan seolah sangat mengenal aku, padahal dia sama sekali tidak pernah benar-benar mengenal aku sebagai anaknya. Dia bahkan tidak ingat hari ulang tahun anaknya sendiri...
Ibuku tak beda jauh dari ayah, mereka sama-sama suka bertingkah kekanak-kanakan. Sering kali aku miss komunikasi dengan ibuku.
Ayah dan ibuku, mereka selalu merasa paling benar dan paling berkuasa di rumah ini. Aku sudah tidak tahan, saat aku membuat kesalahan dan berbuat nakal mereka saling menyalahkan karna tidak bisa mengurusku, padahal aku melakukan untuk mendapatkan perhatian dari mereka.
Saat aku mendapat penghargaan atau menjadi peringkat satu dikelas, respon mereka datar seolah apapun yang aku lakukan tidak berguna. Tetap saja mengganggapku pemberontak. Aku hanyalah bencana, musibah, selalu dianggap awal permasalah ayah dan ibu. Aku berharap aku tidak dilahirkan dikeluarga ini, atau bahkan tidak pernah dilahirkan..
Ayah dan ibuku sering bertengkar hanya karna masalah-masalah kecil, hal-hal yang mungkin sudah biasa dalam setiap rumah tangga. Tapi aku rasa ini benar-benar sudah keterlaluan, selalu setiap saat ada saja yang dipermasalahkan. Mereka terlalu egois untuk dapat mengerti satu sama lain.
Bahkan aku berfikir, bagaimana bisa mereka berdua dipertemukan dan menikah padahal yang aku lihat mereka sangat sangat tidak cocok satu sama lain? Bagaimana bisa dua orang yang dulunya mencintai, membina sebuah rumah tangga, dan bahkan mempunyai dua anak bisa dikalahkan oleh egonya masing-masing?
Apa cinta memang sesederhana itu? Akan pudar sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.
Bahkan aku berfikir, bagaimana bisa mereka berdua dipertemukan dan menikah padahal yang aku lihat mereka sangat sangat tidak cocok satu sama lain? Bagaimana bisa dua orang yang dulunya mencintai, membina sebuah rumah tangga, dan bahkan mempunyai dua anak bisa dikalahkan oleh egonya masing-masing?
Apa cinta memang sesederhana itu? Akan pudar sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.
Itulah yang membuat aku takut dengan cinta. Daripada mencari pasangan hidup, aku lebih memilih untuk dijodohkan dengan lelaki pilihan ayah, toh, pada ahkirnya cinta akan tetap kadaluarsa kan? :)
Sama kaya gue..
BalasHapus